Pembakaran masjid saat shalat Idul fitri 1436 di Papua |
Lima
tahun lalu, saat umat Islam merayakan Hari Kemenangan, kaum Muslim di
Ciketing Asem justru bersimbah darah setelah aksi provokasi jemaat HKBP.
Seketika itu juga dunia internasional menyoroti Ciketing Asem.
Berbagai
media (cetak dan elektronik), baik dalam maupun luar negeri, kompak
mengangkat peristiwa itu dengan satu angel yang seragam: kebebasan
beribadah. Judul kemudian dibuat beragam. Beberapa di antaranya: Pemkot
Bekasi Diminta Berikan Izin Ibadah untuk jemaat HKBP (detik), Romo
Benny: Negara Tidak Boleh Kalah oleh Pelaku Kekerasan (detik),
Indonesia, Belajarlah Toleransi (kompas), Kebebasan Beragama Belum
Terjamin (kompas), Ada Pertemuan sebelum Penusukan (kompas), Kebebasan
Beribadah Terancam (Media Indonesia), KWI: Gejala Intoleransi Terjadi
(kompas), Sukur Nababan: Ini Tindakan Biadab, (kompas), Jemaat HKBP
Ditusuk saat akan Beribadah (Koran Tempo), Christian Worshippers
Attacked in Indonesia (New York Times/Associated Press).
Nada
pemberitaan mereka seperti sudah diatur layaknya paduan suara yang
menyanyikan lagu Kebebasan Beragama dengan syair yang menyudutkan umat
Islam.
Padahal, fakta sesungguhnya tidaklah demikian. Tertusuknya jemaat HKBP akibat provokasi mereka yang berjalan kaki sejauh 2-3 Km untuk beribadah, dengan melewati rumah-rumah penduduk sambil bernyanyi kidung rohani.
Padahal, fakta sesungguhnya tidaklah demikian. Tertusuknya jemaat HKBP akibat provokasi mereka yang berjalan kaki sejauh 2-3 Km untuk beribadah, dengan melewati rumah-rumah penduduk sambil bernyanyi kidung rohani.
Benturan
tak terhindarkan. Tak cuma jemaat HKBP yang jadi korban, warga Ciketing
Asem pun terluka. Insiden Cikeas terjadi karena bandelnya jemaat HKBP
yang tidak mematuhi instruksi Pemkot Bekasi untuk tidak beribadah di
Ciketing Asem. Tapi media tak mau tahu. Fakta itu mereka endapkan. Yang
ditampilkan hanya akibat. Maka muncullah berita-berita yang memojokkan
umat Islam.
Tahun
ini, saat umat Islam memekikkan takbir kemenangan di Hari Idul Fitri,
nun jauh di Tolikara Papua aksi kekerasan kembali terjadi. Kaum Muslim
yang hendak sholat ied diserang jamaah teroris GIDI (Gereja Injil Di
Indonesia). Tak cuma itu, mereka juga membakar tempat ibadah umat Islam
di sana. Lalu bagaimana media arus utama memberitakannya?
Mari kita cermati pemberitaan Kompas online. Berikut beberapa judul mereka:
1. Situasi Karubaga Berangsur Kondusif, Polisi Selidiki Pemicu Kerusuhan
2. Pembakaran Rumah Ibadah Melanggar Norma Adat Papua.
3. MUI Minta Umat Islam di Tolikara Menahan Diri
4. Belasan Kios dan Rumah Warga Hangus Dibakar Massa Tak Dikenal.
2. Pembakaran Rumah Ibadah Melanggar Norma Adat Papua.
3. MUI Minta Umat Islam di Tolikara Menahan Diri
4. Belasan Kios dan Rumah Warga Hangus Dibakar Massa Tak Dikenal.
Lain
halnya dengan Metro TV Online. Awalnya mereka memberitakan peristiwa
tersebut dengan judul: Saat Takbir Pertama, Sekelompok Orang Datang dan
Lempari Musholla di Tolikara. Lalu judul diubah menjadi Amuk Massa di
Tolikara.
Kita
juga masih ingat dengan tragedi Monas 1 Juni 2008. Pola pemberitaan
media memang cenderung homogen saat terjadi peristiwa semacam Monas dan
Ciketing Asem, juga terorisme. Benang merahnya: mereka kompak
memberitakan setiap kejadian yang berpotensi menyudutkan umat Islam;
tentang keberagamaan (pluralitas), kebebasan, radikalisme, dsb.
Biasanya,
mereka selalu menutupi akar masalah; kerap memblow up akibat, bukan
sebab. Insiden Monas, misalnya, diberitakan sebagai aksi kekerasan umat
Islam terhadap AKKBB (Aliansi Kebangsaan untuk Kebebasan Beragama dan
Berkeyakinan). Islam pun diopinikan sebagai anti-kebhinekaan, mengingat
saat peristiwa terjadi bertepatan dengan Hari Pancasila. Padahal,
bentrokan antara FPI dan AAKBB disebabkan oleh provokasi AKKBB. Tapi
media tak mau tahu. Fakta itu mereka sisihkan, dan hanya memberitakan
aksi kekerasan FPI.
Keesokan
harinya, Koran Tempo menampilkan foto headline saat Munarman, tokoh
FPI, sedang “mencekik” seorang laki-laki “yang ditulis mereka sebagai
anggota AKKBB“, untuk memberikan efek dramatis aksi kekerasan FPI.
Ternyata, fakta yang sesungguhnya tidak demikian. Munarman justru sedang
berusaha mencegah anggota FPI melakukan serangan kepada anggota AKKBB.
Kita
memang tak bisa menuntut banyak kepada mereka untuk bersikap adil
terhadap umat Islam. Namun kita kerap dibuat geram oleh ulah mereka.
Media arus utama kita semakin koruptif saat memberitakan isu keumatan.
Dan semakin hari, wajah media semacam detik, kompas dan metro kian
membusuk, menyebarkan bau tak sedap tentang Islam ke publik. Baunya
bertambah menyengat di masa kini, saat negeri ini dipimpin oleh seorang
presiden yang secara massif justru dicitrakan positif oleh media busuk
semacam mereka. (erwyn/dakwatuna)
Sumber : Dakwatuna.com